Dengan segala hormat kepada niat baik siapa pun pengunggahnya, saya unggah ulang sebuah foto dengan keterangan tertanam pada gambarnya “inilah roti kehidupan.”
Tentu saja, mereka yang Katolik atau sebagian umat Protestan di Indonesia tahu bahwa subjek foto itu adalah hosti gandum yang dipakai Gereja Katolik dan sebagian Gereja Protestan untuk Ekaristi. Dalam Gereja Katolik, hosti itu dipercaya menjadi Tubuh Kristus karena transubstansiasi pada momen yang disebut konsekrasi.
Saya tidak hendak menyodorkan benih perpecahan dengan mengutak-atik kepercayaan akan transubstansiasi dan konsekrasi yang dilakukan oleh imam Gereja Katolik. Saya hanya ingin meluruskan pengertian supaya orang tidak salah kaprah dengan “roti hidup” yang juga disinggung dalam teks bacaan utama hari ini. Teks ini adalah bagian dialog Yesus dan orang banyak mengenai roti kehidupan. Maksud Yesus kiranya cukup jelas pada teks sebelumnya: hendaklah perhatian mereka tak tertambat pada kenyangnya perut seperti belum lama mereka alami dengan makan roti dan ikan, tetapi pada makna hidup yang datang dari upaya mencari, menemukan, dan melaksanakan kehendak Allah.
Ndelalahnya, orang banyak yang berhadapan dengan Yesus itu menggenggam cinta bersyarat: baiklah kami akan mengejar makna hidup itu asalkan engkau bisa dipercaya; tanda apa yang bisa kau berikan kepada kami? Ironis nian: baru aja mereka dapat makan dengan modal nol rupiah, toh tidak menangkapnya sebagai tanda! Maklum, mereka membandingkannya dengan masa lalu ketika nenek moyang mereka mendapat roti dari langit.
Yesus meluruskan keyakinan mereka: (1) yang ngasih roti dari langit itu Allah, yang disebutnya Bapa, (2) karunia itu terjadi dengan present tense, bukan past tense, (3) roti yang sedang diwacanakan Yesus itu roti sejati dari langit, dan, dengan demikian, (4) penerima karunia roti sejati itu mereka, bukan nenek moyang mereka. Masalahnya, karena fokus mereka tertambat pada manna zaman jebot sebagai tanda, mereka tak paham juga roti hidup yang maujud dalam sosok Yesus ini.
Hal yang sama bisa terjadi ketika orang memberi label hosti dengan “roti hidup” meskipun maksudnya ialah hosti yang sudah dikonsakrir pada saat Ekaristi. Bahkan, jika “roti hidup” itu diletakkan dalam konteks Ekaristi, orang Katolik seharusnya sadar bahwa Ekaristi adalah Sakramen, bukan per se roti hidupnya sendiri karena roti hidup itu adalah Yesus Kristus sendiri. Ini tidak hendak menurunkan martabat Ekaristi, tetapi justru meletakkan Ekaristi pada tempatnya sebagai sakramen, yang baru efektif atas dasar iman orang yang mengikutinya: ketika hidup mereka sendiri berdaya ubah. Otherwise, roti hidup tak lain daripada slogan dan bentuk fanatisme ritual.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami boleh menjadi serpihan roti hidup-Mu. Amin.
SELASA PASKA III
6 Mei 2025
Posting 2020: Ritual Challenge
Posting 2019: Enjoy Your Life 2
Posting 2018: Makan Tuh Iman
Posting 2017: Bakar Bunga
Posting 2016: Roti Surga, Selai Neraka
Posting 2015: Tanda Tangan Allah
Posting 2014: Weak But Strong


You must be logged in to post a comment.