Apa jadinya jika dulu Ahok memakai cara-cara kotor untuk mempertahankan dirinya sebagai Gubernur DKI, alih-alih menyatakan,”Kalau lu cuma mau jadi Gubernur, ambil aja!”?
Apa jadinya hidup ini kalau tidak ada orang yang berani berkata ora pathè’ên? Ini ungkapan Jawa yang barangkali sepadan dengan ungkapan emang gue pikirin. Tak dapat jabatan pun gada masalah buat gue!
Sewaktu saya tinggal di asrama dengan 70 teman angkatan, pamong asrama kami pernah membawa plastik besar yang tampaknya berisi oleh-oleh. Kami sedang ada pertemuan, dan di penghujung pertemuan itulah sang pamong datang dan mengatakan bahwa ada snack untuk semua. Tak sampai beberapa detik teman-teman segera mengerubungi plastik yang masih dibawa pamong itu dan tangan-tangan mereka masuk ke dalam tas untuk meraih snacknya. Tak lama kemudian, saya lihat tangan-tangan yang belepotan dengan fla dari kue sus yang mereka genggam erat-erat. Hanya sedikit sisa kue yang masih layak dimakan. Karena semua ngotot, akhirnya malah yang didapatkan tak lagi layak didapatkan. Lebih baik yang waras mengalah.
Loh, berarti yang menang orang-orang gak waras dong, Rom?
Belum tentu. Poinnya: kalau semuanya ngotot, kemenangan yang diperoleh bisa jadi malah tak layak diperoleh.
Ah, Romo absurd. Gimana mungkin orang bertanding kok yang satu bilang,”Dah sana silakan bikin gol biar kamu menang!”? Gak menarik lagi dong pertandingannya!
Justru itulah problemnya: Anda memandang hidup ini sebagai pertandingan, seakan-akan hanya Anda yang pantas menang, dan segala cara ditempuh, juga yang merusak hakikat permainan sendiri.
Lalu mesti dipandang sebagai apa hidup ini kalau bukan sebagai pertandingan? Bukankah Paulus juga menganalogikan hidup ini sebagai suatu perlombaan/pertandingan?
Betul, tetapi perlombaan itu menyangkut keseluruhan hidup. Hadiahnya diperoleh dengan keseluruhan hidup, tidak diciptakan pelaku-pelaku perlombaannya sendiri: pangkat, jabatan, status, kuasa, duit, wilayah, dan sebagainya.
Artinya, pertandingan yang dimaksud Paulus pasti bukan pertandingan sepak bola atau kontestasi capres-cawapres. Ini adalah pertandingan iman, pertandingan proses melawan kekuatan jahat yang bisa mengacaukan iman orang.
Kalau begitu, wajarlah Ahok, sebagai orang beriman, mengalah: mengalah untuk memakai kekuatan jahat, culas, korup, manipulatif. Yang waras mesti mengalah dalam penggunaan cara-cara jahat tersebut. Ini tidak sama dengan mengalah dalam kontestasi politik. Lha itu tadi, lucu dong Anda mencalonkan diri jadi Gubernur tapi malah mengalah, selucu menantang Jokowi jadi presiden dan lalu mengalah dalam debat, apalagi mengundurkan diri! Anda harus ngotot, tetapi dengan cara yang elegan, bukan cara kasar dan manipulatif.
Teks yang mirip bacaan hari ini sudah diulas beberapa hari yang lalu dalam posting Kesepian. Perbedaannya terletak pada ayat ini: tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya ke mana-mana, sehingga Guru dari Nazareth tidak lagi dapat terang-terangan masuk ke dalam kota.
Begitulah jika setiap agama berlomba-lomba mengklaim kebenaran universal, menurut versinya sendiri: Allah tak lagi dapat terang-terangan masuk ke dalam hidup manusia. Yang waras sewajarnya mengalah, tidak perlu ngotot soal kebenaran tunggalnya karena hidayah kebenaran itu tak akan lari ke mana.
Tuhan, ajarilah kami kewarasan nalar-Mu. Amin.
HARI KAMIS BIASA I C/1
Peringatan Wajib S. Antonius Abas
17 Januari 2019
Posting Tahun B/2 2018: The Humble God
Posting Tahun A/1 2017: Mau Opname Dong
Posting Tahun C/2 2016: Dewasa Sedikitlah, Brow
Posting Tahun B/1 2015: Bahayanya Mukjizat
Categories: Daily Reflection