Pada kesempatan ziarah tahun lalu saya tidak menyampaikan pertanyaan mengenai bagaimana para gembala memelihara domba-domba yang dipercayakan kepada mereka. Saya memang masuk ke gua yang biasa dipakai para gembala beristirahat, tetapi saya tak berhasil mengimajinasikan bagaimana persisnya mereka menjaga domba-domba mereka. Akan tetapi, zaman internet begini, saya bisa melongok tulisan tetangga jauh yang memberikan sedikit gambaran bagaimana domba-domba itu dipelihara.
Konon, pada zaman Yesus, kandang domba itu berada di pinggir desa, dan bukannya setiap rumah punya kandang untuk dombanya masing-masing. Setelah selesai beraktivitas seharian, domba-domba itu akan digiring ke dalam kandang yang terpagari oleh tumpukan batu yang tidak terlalu tinggi. Kadang-kadang, untuk menambah sedikit keamanan, ditambahkan semak-semak berduri sehingga pencuri atau srigala tak berani masuk ke dalam pagar. Para gembala akan bergantian ronda dan yang kena giliran ronda akan duduk bersandar pada ujung tumpukan batu yang satu sementara kakinya menekuk, menjejak ujung tumpukan batu yang lainnya dan dengan demikian ia jadi pintu pagar kandang domba itu.
Yesus menganalogikan dirinya sebagai gembala (prengus) yang ronda itu, yang menangkal bahaya dari luar masuk ke dalam pagar kandang domba mereka. Tentu saja, jika begitu, ada pengertian bahwa tugasnya ronda akan digantikan oleh gembala lain sepeninggal dia. Dari perspektif teologi Kristiani, gembala itu adalah Roh Kristus. Dari perspektif agama Katolik, gembala yang sedang kena jatah ronda itu adalah Paus Fransiskus. Dari perspektif agama lain, tentu gembala yang sedang ronda itu bisa dilekatkan pada sosok yang berbeda lagi, yang sama-sama menjalankan fungsi sebagai pintu.
Menariknya, analogi yang dipakai Yesus itu tentu saja hanya merujuk pada sosok gembala sebagai pintu: sebagai gembala yang sedang mendapat jatah ronda. Bahaya seakan hanya datang dari luar kandang. Pada kenyataannya, jika kawanan domba itu dianalogikan sebagai umat beragama, menjadi jelaslah bahwa bahaya tidak hanya datang dari luar agama, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri.
Meminjam contoh yang paling up to date dalam politik NKRI, bahaya itu tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Upaya delegitimisasi KPU, provokasi people pow[d]er, kontroversi presiden 02, itu hanyalah contoh untuk becermin bahwa dalam agama pun ada bahaya serupa. Maklum, kalau petugas ronda tadi ditangkap dengan paradigma kekuasaan, bukan paradigma ‘merawat domba’ atau menjaga jiwa-jiwa orang beriman, domba pun bisa berlagak seperti gembala yang siap sewaktu-waktu menyerang petugas rondanya.
Saya sebagai imam Katolik, dan berkaul ketaatan secara khusus kepada petugas ronda, hendak mengingatkan soal bahaya seperti ini. Ini bukan gerakan mainstream, hanya sebagian kecil dari domba yang punya tendensi untuk menyeringai kepada gembalanya yang sedang bertugas ronda. Saya tidak ambil pusing soal bahaya yang mengintai gembala yang ronda itu [toh suatu saat dia akan diganti juga], tetapi saya lebih peduli pada bahaya yang mengendap-endap dalam diri dombanya: fanatisme, fundamentalisme, chauvinisme, tribalisme, ekstremisme atas nama kepastian surgawi, yang menyulitkan orang beriman untuk menerima yang lainnya dalam konteks ukhuwah insaniyah.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk membebaskan diri kami dari tendensi ekstrem yang menjauhkan cinta-Mu dari sesama. Amin.
SENIN PASKA IV
13 Mei 2019
Posting 2018: Jago Kandang
Posting 2017: Minta Dihargai Berapa?
Posting 2016: Hati Tanpa Pintu
Posting 2015: Dengar Suara Bos Besar!
Posting 2014: Keselamatan Itu Inklusif
Categories: Daily Reflection