Anda pasti belum pernah dengar lirik lagu Koes Plus yang ini: Isyana Isyana kekasihku, bilang pada orang tuamu, cincin yang bermata jeli itu, tanda cinta kasih untukmu.
Lirik itu tercipta demi mengenang lagu Garuda Pancasila yang keluar dari mulut saya yang dulu: Pribang pribangsaku….
Trus kenapa mesti Isyana yang keluar di lirik lagu Koes Plus itu? Entahlah mengapa, tetapi memang dalam lagu ciptaan Isyana ada kalimat yang memicu saya untuk mengerti teks bacaan-bacaan hari ini: dunia kita berbeda.
Untuk teks bacaan pertama sangat jelas. Ketika Musa mengalami perjumpaan dengan Allah, di situ ditegaskan perbedaan mutlak antara keberadaan Musa dan Allah. Dunianya benar-benar berbeda.
Bagaimana dengan bacaan kedua? Apakah dunia Guru dari Nazareth dan orang-orang sezamannya itu berbeda? Rupa-rupanya tidak. Mereka melihat bulan yang sama, makanannya juga sama (meskipun pasti yang dimakan berbeda). Bahwa konon Guru dari Nazareth itu bisa membuat mukjizat macam-macam, okelah itu berbeda, tetapi mukjizat itu terjadi di dunia yang sama. Lagipula, ada orang lain juga yang bisa bikin mukjizat. Tapi pokoknya dunia mereka sama gitu deh.
Ha njuk kenapa judulnya ‘dunia kita berbeda’?
Ya mungkin memang dunia yang hendak dibangun Guru dari Nazareth itu berbeda dari dunia yang dibayangkan orang-orang lainnya. Jadi, ini bukan soal dunia as it is seperti adanya, melainkan dunia yang hendak direalisasikan, yaitu Kerajaan Allah. Di situ dunia mereka berbeda. Menurut sebagian dari mereka, Kerajaan Allah itu akan tiba, bergantung pada usaha mereka untuk memurnikan agama. Menurut sebagiannya lagi, Kerajaan Allah itu akan tiba kalau negara sudah seutuhnya menjalankan kaidah-kaidah agama. Menurut orang lain lagi, Surga itu tiba kalau stempelnya (yang dibikin orang tertentu) sudah terdistribusi ke seluruh benua.
Guru dari Nazaret berbeda pandangan dunianya. Ketika mengatakan saatnya sudah tiba atau Kerajaan Allah itu sudah ada di tengah-tengah kita, dia tidak sedang mengatakan bahwa dirinya adalah Kerajaan Allah itu. Dia bukannya mengatakan bahwa Kerajaan Allah hanya datang pada saat dia hidup pada zamannya itu, melainkan bahwa Kerajaan Allah itu ya sudah ‘ada’, terlepas dari orang mau jadi apa. Apa yang didambakan setiap orang ya sudah ‘ada’ secara gratis, tapi tak sedikit yang gagal menyadarinya, sehingga dunia as it is itu jadi beban.
Maka dari itu, tak heran orang memunculkan panggilan sayang ‘beb’ daripada menyebut lengkap ‘beban’ ya?
Itu jugalah yang diwartakan Guru dari Nazareth: Cinta, Damai, Kebenaran, Kerajaan Allah, Surga, itu semua gratis dan sudah tersedia, terlepas dari apakah orang hidup menjomblo atau berpoligami. Yang membedakan dunia tawaran Guru dari Nazareth ini bukan apakah orang hidup dari cinta atau tidak, melainkan apakah cintanya (karena bisa jadi semua orang mengklaim mendambakan cinta) memerdekakan atau jadi beban, apakah komitmennya membebaskan atau malah membuat hidup penuh ketakutan, apakah hidup keagamaan orang meringankan atau malah menciptakan aneka kelekatan, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat kesadaran supaya kami dapat hidup merdeka dalam dunia cinta-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XV C/1
18 Juli 2019
Kamis Biasa XV B/2 2018: Beban Cinta
Kamis Biasa XV A/1 2017: Ego Eimi
Kamis Biasa XV C/2 2016: Yesus Tukang Pijat
Kamis Biasa XV B/1 2015: Allah Beneran Gak Eksklusif
Kamis Biasa XV A/2 2014: The Art of the Midwife
Categories: Daily Reflection