Dalam diri Anda dan saya ada benih ateisme, bahkan meskipun Anda mengklaim diri sebagai pemeluk agama terbaik di sepanjang jalan tempat tinggal Anda. Ini saya yakini atas dasar pengakuan seorang mistikus suci nan sederhana bahwa dalam dirinya ada segala jenis kemungkinan kedosaan. Saya pikir, benar juga ya, wong namanya kemungkinan, entah 99% atau 1% kan ya tetap saja kemungkinan.
Kalau itu benar untuk orang-orang ber-Tuhan, tentu benar juga untuk orang-orang ateis: dalam diri mereka ini ada segala kemungkinan akan teisme. Ini saya yakini atas dasar narasi teks bacaan pertama hari ini. Paulus mengunjungi areopagus orang-orang Yunani. Areopagus (bukit Mars) itu kota bukit (acropolis) di Atena barat. Di situ Paulus mengatakan observasinya kepada warga Athena: mereka mengakui adanya Allah yang tidak mereka kenal.
Ya beda, Rom. Di areopagus itu kan orang-orangnya mengakui adanya Allah, tapi ada banyak Allah. Mereka bukan ateis tapi politeis.
Lho lha iya, tapi apa bedanya ateis dan politeis?
Wah Romo ini ngětès ya. Ateis itu tanpa Tuhan. Politeis banyak Tuhan.
Hahaha… ya kalau itu mah saya sudah tahu, tak perlu bertanya. Tak perlu juga Anda menuduh saya ngětès, karena saya memang ngětès.🤣🤣🤣
Saya mengobservasi kategori yang Anda pakai untuk mengartikan ateisme dan politeisme tadi. Apa hasilnya? Anda mengartikan ateisme dan politeisme hanya dengan logika berkategori kuantitatif. [Walah gawe-gawe dhewe Rama ki!] Nanti ujung-ujungnya monoteisme adalah keyakinan akan satu Allah, gitu kan? Maka, Ketuhanan YME itu berarti Allah cuma satu thok thil, bukan tiga, bukan sepuluh, begitu kan?
Lha ya memang gitu kan, Rom?
Anda boleh memahami isme-isme tadi dengan kategori kuantitatif, tetapi apa salahnya sih melengkapinya dengan kategori kualitatif?
Saya belajar dari prinsip tauhid dalam Islam. Hasilnya saya rumuskan dengan kata integrity. Prinsip kesatuan itu merujuk bukan pada jumlah tunggal atau keseragaman konsep Allah, melainkan kesatuan aneka ragam dimensi hidup yang membuat semuanya terarah pada keilahian. Saya tak ambil pusing berapa jumlah Tuhan Anda (karena toh itu cuma konsep, dan bisa jadi Anda mempertuhankan hal yang bukan Tuhan juga, kan?), tetapi saya peduli mempersoalkan bagaimana integritas hidup Anda diarahkan. Dengan begitu, hidup orang jadi utuh dan tidak tercabik-cabik oleh keanekaragaman materi.
Itulah yang sebetulnya ditegaskan Paulus kepada orang-orang Atena. Pidato Paulus sebenarnya mengundang orang-orang Atena untuk mengintegrasikan hidup mereka dalam ketersambungan antara yang insani dan ilahi. Apakah orang-orang Atena tertarik? Sedikit sekali. Artinya, hanya setitik kecil dalam diri mayoritas warga Atena yang paham wacana ini, dan beberapa gelintir orang pemahamannya lebih besar. Pengertian mayoritas warga Atena tadi nanggung, kurang utuh.
Itu terantisipasi dalam teks bacaan kedua: bahkan murid-murid Yesus pun belum bisa mengerti misteri yang dipaparkan guru mereka. Pengetahuan mereka masih nanggung. Itu mengapa diperlukan hidayah, yang dalam konteks bacaan ini adalah roh kebenaran dari Allah. Tanpa hidayah itu, orang setengah hati bangkit, setengah hati mudik, ber-PSBB, bermasker, ber-social distancing, dan sebagainya: karena orientasinya tertambat pada materialitas dan tak terpukau oleh ketersambungan ranah ilahi dan insani. Iya gak, iya gak, iya gak?
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengutuhkan keterbatasan hidup kami. Amin.
RABU PASKA VI
Hari Kebangkitan Nasional
20 Mei 2020
Kis 17,15.22-18,1
Yoh 16,12-15
Posting 2019: People Power Selesai
Posting 2018: Gaya Baru
Posting 2017: Wong Kagol
Posting 2016: Butuh Teman
Posting 2015: Roh Kudus Juru Blusuk
Posting 2014: Berhala Itu Bernama…
Categories: Daily Reflection