Jalangkote

Di dunia ini ada terlalu banyak orang bijak dan pandai sehingga hidup bersama malah jadi amburadul. Tentu, ini bahasa biblis alias bahasa Kitab Suci seperti tertera dalam Injil Matius (11:25). Yang dimaksud bukanlah pèr sé orang bergelar akademik tinggi, melainkan orang yang menaruh seluruh pengetahuan akan kebenaran hidup pada dirinya sendiri. Ini saya singgung dalam posting Kerendahhatian Képologis. Kebenaran hidup rupanya justru disingkapkan kepada orang kecil: bukan per sé orang miskin dengan kemampuan akademik rendah, melainkan orang yang terbuka untuk terus mencari pengetahuan akan kebenaran hidup dari yang lainnya.

Featured image yang saya pasang untuk posting hari ini adalah gambar jalangkote yang mengingatkan kita pada perundungan anak SD yang membantu ibunya berjualan makanan dengan sepeda bututnya. Saya yakin, Anda yang menonton videonya akan bersimpati pada anak SD yang baik ini sebagai korban perundungan. Itu adalah indikasi kewarasan kita sebagai makhluk. Saya berharap, simpati terhadap anak SD itu tidak melenyapkan simpati Anda pada pelaku dan penontonnya. Saya tidak mengatakan bahwa perundungan atau prank yang membahayakan itu baik-baik saja, tetapi mengundang Anda untuk melihat bahwa juga pelaku perundungan sebetulnya punya latar belakangnya sendiri yang saya dan Anda tidak ketahui. Bukan untuk membenarkan perilaku, melainkan untuk menempatkan persoalan dari perspektif yang lebih luas.

Kasus penularan Covid-19 melalui pembongkaran peti jenazah oleh keluarga yang hendak memandikan jenazah juga bisa jadi contoh kebijakan dan kepandaian ala Kitab Suci tadi. Saya tidak tahu mengapa keluarga memandikan jenazah, tetapi pasti berhubungan dengan ideologi keyakinan pribadi mereka. Sama dengan anak jalangkote tadi, saya tidak mengajak Anda untuk kehilangan simpati terhadap mereka yang bijak-pandai biblis ini. Bukan karena mereka fanatik pada keyakinan pribadi dan tak terbuka pada ilmu, melainkan karena keadaan mereka yang seperti itu bukan satu kenyataan yang berdiri sendiri. Ini bukan perkara semata mereka keliru karena bijak-pandai biblis mereka.

Teks bacaan kedua hari ini masih dalam konteks wacana perpisahan Guru dari Nazareth dan para muridnya. Menariknya, Sang Guru ini juga sadar banget bahwa kalau murid-muridnya itu terus menerus nyantrik, malah mereka tak akan paham juga kebenaran hidup yang disampaikan. Guru dari Nazareth sampai pada titik untuk melesapkan dirinya dan membiarkan Allah sendiri nanti yang menuntun mereka dengan παράκλητος (parakletos, Yunani) yang saya singgung dalam posting Citra Cinta hari Minggu lalu.

Menariknya lagi, dengan bimbingan Roh ini, orang beriman tak lagi sekadar berpedoman untuk pergi ke mana hati menuntunnya tanpa mempertimbangkan apa yang disampaikan seorang politikus dan jurnalis Prancis, H. Lacordaire: Je vais où Dieu m’emmène, pas sûr de moi, mais sûr de lui. Google Translate bilang begini: Aku pergi ke mana Tuhan membawaku, tidak yakin pada diriku sendiri, tetapi yakin akan Dia. Contohnya kisah bacaan pertama. Paulus dan Silas dipenjara, dan bukanlah misi mereka untuk berusaha keluar dari penjara. Bahkan, ketika terjadi gempa bumi dan pintu penjara runtuh, dan penjaga penjara ketakutan akan nasib mereka jika para tahanan kabur, mereka tetap tinggal di sana sesuai protokol tahanan. 

Dalam arti itulah, Paulus dan Silas tak bisa memastikan hidup mereka sendiri (karena yang pasti di dunia ini katanya ketidakpastian itu), tetapi mereka punya pegangan kuat kepastian, yaitu Allah sendiri. Kalau orang hidup atau mati bersama Allah, ha njuk mau apa lagi yang mesti dirisaukan? Persis kesadaran inilah yang diperlukan bagi umat beriman, dan itu berarti butuh παράκλητος tadi.

Tuhan, bantulah kami untuk melesapkan diri dalam cinta-Mu. Amin.


SELASA PASKA VI
19 Mei 2020

Kis 16,22-34
Yoh 16,5-11

Posting 2019: Tek Kotek Kotek Konteks
Posting 2018: Nothing Tulus
Posting 2017: Untuk Koh Ahok

Posting 2016: Perpisahan Mendewasakan

Posting 2014: Sakit Boleh, Menderita Jangan