Bucin Lagi

Pernah ada seorang imam muda di sebuah gereja yang seakan tidak ingat bahwa dalam tradisi kristiani, diyakini salah satu rasul Yesus itu menjadi pengkhianat. Namanya Yudas Iskariot. Ini nama rasulnya, bukan nama imam muda itu. Entah malam harinya bermimpi apa, ketika pagi hari memimpin perayaan misa, dia dengan sangat yakin menyampaikan pengantar bahwa hari itu Gereja Katolik memestakan rasul Yudas Iskariot! Dia sepertinya lupa [atau malah tidak tahu] bahwa ada dua rasul Yesus yang memakai nama Yudas. Saya terkejut dan ingin tertawa, tapi tak [men]tega. Saya berharap imam muda itu menyadari kekeliruannya dan meralatnya saat khotbah.

Akan tetapi, apa daya, keinginan saya untuk tertawa tak tertahankan lagi. Pasalnya, dia tetap keukeuh bahwa yang dipestakan Gereja Katolik adalah Yudas Iskariot. Konyolnya, dia mengundang umat untuk belajar dari pertobatan Yudas Iskariot, bukan dari pengkhianatannya!
Saya tertawa terbahak-bahak sampai umat di sekeliling saya terkejut. Untungnya, tawa terbahak-bahak dan umat di sekeliling saya itu adanya dalam hati saya sehingga perayaan misa berjalan tanpa kegaduhan. Seusai misa barulah imam muda itu jadi bahan pergunjingan dan olok-olok di rumahnya.

Pengalaman itu menggelitik saya juga untuk melihat teks bacaan hari ini. Yang diperingati Gereja Katolik adalah kemartiran Yohanes Pembaptis, tetapi protagonis dalam kisah yang disajikan dalam bacaannya justru adalah pembunuh Yohanes Pembaptis, yaitu Herodes. Maka, belajar dari imam muda yang lucu tadi, saya kira bisa juga kita memetik pelajaran dari tokoh protagonis yang menunjukkan kekuasaannya dengan menyuruh orang memenggal kepala Yohanes. Tentu, seperti kata imam muda tadi (bukan pengkhianatannya yang kita petik), yang kita pelajari bukanlah arogansi kekuasaan, melainkan bagaimana karakternya dibangun oleh kesesatan berpikir mengenai hidup.

Herodes merepresentasikan pribadi yang jadi budak cinta alias bucin; sebuah contradictio in terminis, tetapi justru kontradiksi itulah yang biasanya dihidupi orang. Meskipun raja, Herodes ini begitu dicengkam oleh orang-orang di sekelilingnya dan atas nama cinta, ia mengambil keputusan yang sangat kontroversial bagi dirinya sendiri. Betul, keputusannya memang mengakhiri hidup Yohanes Pembaptis. Akan tetapi, keputusan Herodes itu menggambarkan bagaimana prioritas nilainya yang terbolak-balik, simbol ketiadaan paradigma hidup yang bermartabat. Ini kebalikannya dengan Yohanes Pembaptis yang kelihatan punya prinsip dan tak gentar menyerukan kebenaran hidup.

Salah satu hal yang mencirikan kekacauan hidup Herodes ialah komitmennya yang dilandaskan pada passion yang tertambat pada cinta terlarangnya. Sebetulnya dia cool karena seperti seorang pendekar dalam serial Pendekar Rajawali, ia tak hendak menarik janjinya. Dia menjanjikan hadiah bahkan separuh dari kerajaannya kalau anak Herodias memintanya. Meskipun ia sangat sedih mendengar permintaan anak Herodias itu, dia tak punya kemampuan untuk berkata “tidak”. Menepati janjinya cool, tetapi nyawa manusia dihargainya lebih rendah dari separuh kerajaan, tak lain karena dia jadi bucin. Herodes tak pernah menyerah untuk membeli cintanya bahkan dengan mengorbankan nyawa orang yang menyuarakan kebenaran.

Determinasi, perseveranceendurance adalah kualitas-kualitas keren bucin, tetapi itu semua jadi ambyar nilainya jika cinta yang diperjuangkannya cuma selevel ‘barang’ ciptaan, bukan Penciptanya sendiri.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk mencintai-Mu lebih dari segala.
 Amin.


PW WAFATNYA YOHANES PEMBAPTIS
(Sabtu Biasa XXI A/2)
29 Agustus 2020

Yer 1,17-19
Mrk 6,17-29

Posting 2019: Free Rein Style
Posting 2018: Menjilat Tuhan
Posting 2017: Makan Perasaan

Posting 2016: Minta Apa Eaaa…

Posting 2015: Diam Tanda Setuju?

Posting 2014: Florence oh Florence