“Kerja mulu‘ gak kaya-kaya.” Begitu komentar canda yang sejak kecil saya dengar. Tentu, ini komentar untuk kalangan bawah seperti saya, yang dapat bantuan tunai langsung karena gaji pokoknya di bawah standar tapi tetap dipotong untuk bayar BPJS Tenaga Kerja.🤭 Komentar seperti itu tak kan bergaung di ruang sidang DPR atau meeting room hotel mewah. Bisa jadi loh, ini bisa jadi, bukan saya hendak menuduh, yang berlaku sebaliknya: gak kerja-kerja tapi kaya…
Akan tetapi, komentar canda tadi memang biasanya memancing tanya: memangnya orang kerja itu supaya kaya? Lah, kalau bukan supaya kaya, njuk untuk apa kerja?
Ya bergantung mau jawab pakai perspektif apa. Kalau Anda mau dengar jeritan Karl Marx, misalnya, Anda bisa mengerti bahwa kerja adalah sarana aktualisasi diri, alih-alih alienasi. Contoh orang yang teralienasi itu banyak: kuli bangunan bisa membangun gedung mewah yang tak pernah dipakainya sendiri. Kerja ya demi duit, demi makan, demi kekayaan, mau demi apa lagi?
Kalau mau menjawabnya dengan perspektif religius, Anda bisa belajar dari keyakinan yang tertanam dalam diri saudara-saudari Muslim bahwa kerja adalah ibadah. Ini bukan perkara orang jadi kaya atau tetap saja miskin, melainkan soal memenuhi panggilan ilahi. Paulus pernah mengingatkan begini kira-kira,”Kalau kamu gak mau kerja, ya gak usah makanlah.” (2Tes 3:10) Kerja memang membuat identitas seseorang jadi aktual. Maka, entah jadi kaya atau tetap miskin, itu hanyalah konsekuensi dari bagaimana orang menata kerjanya, baik secara individual maupun secara sosial.
Hari ini Gereja Katolik merayakan pesta rasul Andreas, yang berprofesi sebagai nelayan. Teks bacaannya ialah kisah bagaimana ia dipanggil oleh Guru dari Nazareth. Sudah saya bahas dalam posting Promo Ah: panggilan ilahi itu tak meniadakan profesionalitasnya, tetapi memberi perspektif yang lebih luas terhadap profesinya. Keluasan perspektif itulah yang membahagiakan, dan… mau apa lagi orang hidup kalau bukan demi kebahagiaan, bukan?
Saya sepakat dengan ide kerja sebagai aktualisasi diri: orang mesti masuk ke kedalaman dirinya dan membuat yang gue banget itu jadi aktual. Asumsinya, setiap orang mesti masuk ke dalam dirinya sendiri. Risikonya, orang jadi egosentris dan merasa benar sendiri. Penawarnya: mengikuti insan kamil. Akan tetapi, “mengikuti” Guru dari Nazareth misalnya, tidak sama dengan menirukan gerak-geriknya. Santo Andreas yang dirayakan hari ini, menurut tradisi, mati disalib, tetapi bentuk salibnya pun berbeda. Bukan mati disalibnya yang diikuti, melainkan bekerja sebagai ibadah, itulah yang dihidupi.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk mewujudkan cinta-Mu dalam setiap jerih payah kerja kami. Amin.
PESTA S. ANDREAS RASUL
(Senin Adven I B/1)
30 November 2020
Posting 2019: False Belief
Posting 2018: Aparatur Sipil tuhaN
Posting 2017: Takut Bangkit, Takut Jatuh
Posting 2016: Rujuk Nasional, Ehm…
Posting 2015: Saudara Seiman
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.