Di kepala Anda dan saya sudah ada kategori ruang-waktu yang membuat kita kesulitan memikirkan persoalan yang melampaui dimensi ruang-waktu. Anda bisa saja membayangkan Parangtritis Jerman yang belum pernah Anda kunjungi dengan beberapa keterangan dari mereka yang sudah pernah mengunjunginya dengan asosiasi terhadap tempat yang pernah Anda kunjungi. Sekarang, ini lebih dimudahkan lagi dengan adanya citra satelit terhadap aneka tempat di belahan bumi ini. Akan tetapi, adakah citra satelit surga-neraka? Gak ada. Bahkan, jika Anda punya tetangga yang mengklaim mati suri, ia tak bisa menggambarkan bagaimana neraka itu.
Jangan-jangan emang neraka itu gak ada ya, Rom, yang ada cuma surga, gitu?
Pun jika begitu, tetangga Anda yang mati suri juga tak bisa menggambarkan surga itu gimana. Kalau bisa, yang digambarkannya adalah sesuatu yang ada dalam kategori ruang-waktu. Ya itu tadi, karena di kepala Anda dan saya sudah ada kategori ruang-waktu, dan itu mengapa penjelasan mengenai hal yang melampaui dimensi ruang-waktu itu bikin runyam mereka yang mengklaim punya pengetahuan mutlak mengenai dimensi ruang-waktu tadi: Allah, nirwana, kekosongan, surga, kebahagiaan, dan seterusnya.
Sore ini saya memimpin ibadat di stasi kecil di salah satu kota kecil di Pulau Sumatera dan secara iseng saya tanya kepada umat kalau-kalau surga itu ada. Semua bersepakat bahwa ada surga tetapi ketika saya tanyakan apakah ada bagian syahadat yang menunjukkan kepercayaan akan adanya surga, mereka malah hahahehe; tetapi ada juga yang menjawab bahwa secara implisit kepercayaan itu dinyatakan dalam doa Bapa Kami karena di situ dikatakan “Bapa kami yang ada di surga.” Masalahnya, kalau begitu, surga itu di mana dong?
Singkat cerita, kepada anak-anak saya tegaskan kalau sampai guru agama atau ortu mereka mengajarkan surga sebagai tempat, mereka harus segera protes bahwa guru atau ortu mereka ngawur! Kenapa ngawur? Ya karena jika surga itu tempat, surga pasti terikat waktu, baik entah kapan di masa depan atau di masa lalu.
Salah satu ungkapan kunci yang disodorkan dalam kisah sengsara, yang tak diungkapkan dalam teks bacaan hari ini, ialah permintaan salah seorang penyamun dan komentar Yesus: “Hari ini juga engkau bersamaku di firdaus” Lalu saya potong kompas: surga itu adalah perkara mengikuti Yesus, hidup bersama Yesus. Jadi, kalau dipatok sebagai tempat di masa depan, itu bukan lagi surga, melainkan neraka. Alhasil, andaikan orang tak mau menyuarakan keadilan seturut nuraninya, ia menunda surga, mengundang neraka, bahkan meskipun hidupnya berkelimpahan harta dan tahta. Sebaliknya, jika karena menyuarakan keadilan sosial ia dipersekusi, meskipun hidupnya tampak terlunta-lunta, ia mengundang surga dan membuang neraka. Begitulah, surga-neraka memang ada di hati akuh, yang melampaui kategori ruang-waktu.
Tuhan, mohon rahmat kebangkitan supaya pilihan-pilihan kami selaras dengan hidup-mati bersama-Mu. Amin.
HARI JUMAT SUCI
18 April 2025
Yes 52,13-53,12
Ibr 4,14-16;5,7-9
Yoh 18,1-19,42
Posting 2023: Nendang
Posting 2022: Aku Bukan Yesus
Posting 2020: Membajak Agama
Posting 2019: Dua Presiden
Posting 2018: Tuhan Hanya Butuh Dilan
Posting 2017: Kingdom of Conscience
Posting 2016: Jumat Suci: Keheningan Cinta
Posting 2015: A Faith that Never Dies
Posting 2014: Good Friday: The Turning Point
