Berapa Usia Anda?

Ini curcol bukan untuk menyindir pembaca, tapi kalau ada yang tersindir juga gak papa. Teori tahap perkembangan iman ada di kepala saya, dan saya duga kebanyakan orang tidak jauh-jauh dari tahap ketiga. Menurut statistik fesbuk sendiri, segmen pembaca blog ini mengikuti diagram berikut:
Enam tahap perkembangan iman tadi bisa juga digambarkan dengan enam kelompok usia kedua sampai ketujuh, dan terlihatlah bahwa memang kelompok usia terbesar ada di rentang 35-44. Seperti saya bilang tadi, tidak jauh-jauh dari tahap ketiga.

Apa hubungannya dengan bacaan hari ini?
Bacaan kedua berkonteks pertentangan antara Guru dari Nazareth dan pemuka agama Yahudi. Mereka melontarkan pertanyaan tipikal kelompok usia kedua: boleh gak, gimana hukumnya, apa hukumannya? Apakah Guru dari Nazareth menjawab pertanyaan itu? Iya, tetapi dengan jawaban tipikal kelompok enam. Njomplang, bukan?

Tak jarang pertanyaan yang sampai ke mata saya tipikal pertanyaan kelompok usia kedua, tetapi saya tak bisa menanggapinya dengan jawaban tipikal kelompok usia keenam karena saya baru masuk kelompok usia keempat.😂😂😂
Alasan sebenarnya ialah: susah menjawabnya. Wacana kemarin soal pengampunan itu tidak gampang, apalagi tuntutan kesetiaan komitmen hari ini (soalnya mengandaikan pengampunan juga)! Susah menjawab ya atau tidak bagi orang lain karena setiap orang mesti mengambil tanggung jawab terhadap hidupnya sendiri. Ini bukan soal egois, melainkan magis: menemukan hal yang paling tepat untuk lebih memuliakan Allah.

Teks bacaan pertama kiranya bisa membantu penjelasannya. Yosua mengumpulkan para tokoh bangsa Israel, lalu mengingatkan kembali sejarah bangsa itu sampai di tempat mereka berada: mulai dari ayah Abraham di seberang Efrat sampai merebut dan mempertahankan Yerikho (supaya tak direbut pelakor #halah). Nah, cerita Yosua itu tentu tak asing untuk para tokoh bangsa Israel. Ketika mereka mendengarkan narasi Yosua, mereka mengingat kisah Yosua itu bukan sebagai kisah orang lain, melainkan kisah mereka sendiri.

Itu artinya, ada proses apropriasi atau internalisasi: saya secara pribadi terlibat dalam narasi itu. Maka, orang beriman sudah semestinya mencari cara untuk membangun kesetiaan yang kreatif. Kesetiaan terhadap tradisi itu fine, tetapi diinjak-injak tradisi, ya janganlah. Itu mengapa Guru dari Nazareth mengajak pemuka agama untuk masuk ke perkara yang lebih dalam. Di akhir teks bacaan pertama ditulis kurang lebih begini: kalau kamu ingat bagaimana bangsamu memperoleh kemerdekaan sampai kamu bisa mengalahkan orang-orang asing, itu bukan pertama-tama oleh pedang atau anak panahmu, melainkan campur tangan Allah sendiri. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 bunyinya: atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Orang yang terus ribut dalam persoalan tipikal tahap kedua tadi bisa jadi tak mau membaca, mendengarkan bahwa hidup terselenggara berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Ia menganggap berkat rahmat Allah itu adanya di “luar sana” dan tidak berlaku bagi hidupnya.
Padahal, bagi orang beriman, entah hidup atau mati, ia bersama Allah. Sayangnya, persoalan tipikal tahap kedua tadi membuatnya lupa fokus, galfok, atau salah fokus. Semestinya fokus pada berkat Allah, tapi malah pada persoalan tipikal kelompok dua tadi.

Tuhan, tambahkanlah cinta kami kepada-Mu. Amin.


JUMAT BIASA XIX C/1
16 Agustus 2019

Yos 24,1-13
Mat 19,3-12

Jumat Biasa XIX A/1 2017: Jombloh 4ever
Jumat Biasa XIX C/2 2016: Perkawinan Politis?

Jumat Biasa XIX B/1 2015: Paus Izinkan Perceraian dalam Katolik?
Jumat Biasa XIX A/2 2014: Kawin Cerai Kawin Cerai