Jalan Bareng

Anda tentu pernah membaca istilah filantropi dan misantropi, kecuali Anda mengidap amnesia parah (wong baru saja Anda baca). Dua istilah itu merujuk pada sikap dasariah terhadap bangsa manusia: yang pertama positif, yang kedua negatif. Yang menganut filantropi biasanya aktif secara sosial dengan slogan kemanusiaan. Yang menghidupi misantropi biasanya menarik diri dari kerumunan manusia karena bawaannya ya gak suka terhadap manusia lain.

Baik filantropi maupun misantropi punya kriteria dalam melakukan seleksi dan kriterianya berkaitan dengan kualitas kemanusiaan yang langsung bisa ditangkap dengan indra. Dalam hal ini, filantropi biasanya punya pengaruh positif berskala besar dalam masyarakat (membantu mereka yang miskin, memperluas akses pendidikan, menyokong upaya pengobatan kanker, membantu korban bencana, dan lain-lainnya). Sayangnya, filantropi tak menyentuh akar permasalahan yang bersifat struktural, yang bergantung pada kebijakan publik. Pokoknya sudah memberikan sebagian kepunyaan mereka kepada kelompok masyarakat yang “kurang beruntung”, mission accomplished!

Tadi malam kami menonton film Kung Fu Jungle. Sudah pernah saya singgung sih dalam posting dengan judul yang sama. Begini closing statement dari Hahou Mo, protagonisnya:
Menjadi nomor satu hanya akan membuat kesepian: [karena] banyak yang harus diabaikan demi berdiri di puncak yang sesak. Aku lebih suka merangkul tangan seseorang dan menghadapi dunia bersama, menciptakan kebahagiaan dan menahan kegetiran.

Saya menggarisbawahi frase “menghadapi dunia bersama” sebagai modal untuk mengatasi tendensi filantropi tadi. Yang dikoreksi tentu bukan tindakan karitatifnya, melainkan bagaimana tindakan karitatif itu dijalankan. Artinya, latar belakang dan caranya perlu dilihat ulang.
Dulu pernah saya curcol bagaimana hampir menabrak mbak-mbak yang sekonyong-konyong menghentikan motornya pada posting Di Mana Surgamu, Mbak? Dia (mungkin) dapat pahala, saya (bisa) dapat celaka. Beberapa waktu lalu saya dapati dari jendela mobil keren terulur tangan menenteng plastik berisi nasi bungkus. Ya, nasi bungkus itu memang diberikan kepada pemulung. Baik, bukan? Persoalannya: mobil itu terus melaju, tidak kencang, tetapi sudah memaksa pemulungnya berlari-lari demi sebungkus nasi! 
Kalau tidak mau turun dari mobil, bukankah mobil bisa dihentikan satu dua detik menunggu pemulungnya ya?

Teks bacaan kedua hari ini menunjukkan bagaimana Guru dari Nazareth menegaskan seleksi murid-muridnya bukan dengan prinsip misantropi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang lebih baik daripada yang lain. Juga bukan dengan gagasan dasar filantropi, seakan-akan itulah misi yang mesti dituntaskan. Bacaan pertama memberi contoh konkret: Paulus dan kawan-kawannya mondar-mandir ke sana kemari bukan demi peningkatan jumlah anggota Gereja atau misi kemanusiaan (semata), melainkan karena begitulah Roh menggerakkan mereka.

Pada zaman now, mengikuti dorongan Roh tidak sejelas Paulus, yang pengalaman transformatifnya luar biasa. Orang zaman sekarang mengikuti dorongan Roh justru dengan “menghadapi dunia bersama”. Artinya, ini bukan lagi proyek filantropi untuk mengucurkan kepunyaannya ke belahan dunia yang menderita, melainkan proyek duduk bersama melihat mengapa dan bagaimana ketimpangan ini terjadi dan masing-masing mengambil peran untuk mengubahnya. Gak gampang, kan? Kalau gampang, tentu banyak orang sudah seperti Paulus saja, sewaktu-waktu berubah mengikuti gerak Roh.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati untuk mendengarkan Roh-Mu, juga melalui orang-orang di sekitar kami. Amin.


SABTU PASKA V
16 Mei 2020

Kis 16,1-10
Yoh 15,18-21

Posting 2019: Wo2 Adware
Posting 2018: One in a million (wo)men

Posting 2017: Bangkit Dong

Posting 2016: Kaku-kaku Lemes

Posting 2015: Dunia Setuju Hukuman Mati

Posting 2014: Spiritual Being Having Human Experience