Posting kemarin saya tutup dengan tuduhan: kalau orang berpuasa atau ingkar diri dengan mbĕsĕngut, gak happy, itu berarti karena dia tak mengerti maknanya. Ndĕlalahnya hari ini teks bacaannya menyodorkan pertanyaan orang yang bersungut-sungut karena orang lain tak menjalankan puasa seperti dijalankannya dan juga dijalankan orang-orang Farisi. Oh, itu hanya dugaan saya; mungkin mereka memang bermaksud baik untuk mempertanyakan mengapa puasa yang mereka jalankan dan yang dijalankan orang Farisi itu dianggap tak bermakna oleh pengikut Guru dari Nazareth.
Akan tetapi, karena rumusan pertanyaannya cuma “Kok murid-muridmu itu gak puasa seperti kami sih?”, jawabannya ya simpĕl. Puasa dan sebangsanya itu kan dilakukan demi sesuatu yang lain, bukan demi puasanya sendiri. Orang yang mau operasi besar mesti berpuasa, bukan demi puasanya sendiri, melainkan demi kebaikan operasinya. Orang yang ingin merasakan nikmatnya makanan yang biasa-biasa saja, bisa jadi menunggu waktu sampai merasa lapar banget, bukan demi puasanya, melainkan demi kenikmatan makanan yang biasa itu.
Alhasil, kalau ‘yang didemii’ tadi sudah ada, ngapain orang mesti berpuasa kan? Kalau orang sudah bisa menikmati makanan yang biasa, ngapain mesti menunda-nunda makan untuk menikmatinya? Kalau orang sudah selesai operasi, ngapain mesti puasa? Betul, kalau mesti puasa, mesti demi hal lain lagi, bukan demi menikmati makanan atau operasinya. Guru dari Nazareth memakai metafora sahabat mempelai, yang tentu tak berduka karena mereka bersama-sama mempelai. Baru kalau mempelai itu meninggalkan mereka, kesukaan yang mereka dapat dari kebersamaan dengan mempelai itu akan absen.
Kalau begitu, asal dah tau maknanya, gak usah puasa ya, Rom?
Loh, keliru. Asal dah tau maknanya, Anda bahagia menjalankan puasanya, bukan sekadar demi menjalankan kewajiban.
Sebagian orang beragama berlagak bahwa mereka adalah sahabat-sahabat mempelai sebagaimana dikatakan Guru dari Nazareth tadi. Akan tetapi, Guru dari Nazareth sendiri menyatakan bahwa ada momennya ketika mempelai itu absen. Ini realistis. Juga kalau orang beragama itu merasa dirinya seperti Paulus yang menyadari bahwa bukan lagi dia yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam dia, tetaplah hidup manusia ini terbatas. Pada kenyataannya, orang membutuhkan puasa, meskipun objeknya tidak bisa direduksi semata pada soal makan-minum.
Lha, jadi betul kan, Rom, kalau dah tau maknanya, gak usah puasa?
Haissssh, bilang aja anti lapar, gak mau tahan lapar!!!
Ya Allah, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk memaknai hidup kami. Amin.
HARI JUMAT SESUDAH RABU ABU
19 Februari 2021
Posting 2020: Working in the Background
Posting 2019: Kangen Lagi
Posting 2018: Pantang Internet
Posting 2017: Halo Munafik
Posting 2016: Dasar Pengemis
Posting 2015: Puasa nan Romantis
Posting 2014: How do you fast?
Categories: Daily Reflection