Sempurna

Posting kemarin menyinggung salah satu buah relasi autentik dengan Tuhan sebagai pribadi, bukan bukan sebagai ideologi. Keadilannya akan melampaui keadilan ahli Kitab Suci yang cuma ribet dengan hukum agama atau keadilan orang Farisi yang korup. Ya sebetulnya kontradiktif, wong adil kok korup, wong adil kok cuma berpatokan pada hukum agama. Akan tetapi, ya begitulah pemuka agama yang itu menghidupi kebenaran agama mereka, yang berkelindan dengan kultur kematian dan mereka ini tak hendak membuka wawasan pada keadilan yang berasal dari relasi autentik dengan Tuhan itu.

Teks bacaan hari ini menyodorkan salah satu sketsa keadilan macam itu: tidak memakai mentalitas prakemanusiaan sebagai tolok ukur kesempurnaan. Sudah jamaklah bahwa orang mengukur kesempurnaan dengan tiadanya nila, cacat, gagal, sakit, miskin, dan seterusnya. Orang sempurna itu ya mestilah tanpa kekurangan, kelemahan, kesalahan, dosa, dan seterusnya. Orang menciptakan kategori kesempurnaan dengan tolok ukur yang dihidupi dua pemuka agama tadi: klop dengan aturan agama, klop dengan persepsi budaya mengenai yang baik dan yang jahat.

Sayangnya, kesempurnaan hidup tidak bisa dikerangkeng dengan kategori bikinan orang-orang korup yang tak punya relasi autentik dengan Allah. Keadilan orang beriman pun, dengan demikian, tak cukup dimengerti semata sebagai hukum balas membalas. Orang mesti kembali pada relasinya dengan Allah yang sempurna itu: bukan karena Dia tak bercacat, melainkan karena hati-Nya yang begitu luas sehingga orang yang terpuruk tak disorongkannya ke kehancuran, tetapi diundangnya untuk mendapatkan martabat kemanusiaannya.

Konsekuensinya untuk orang beriman ya tidak gampang: mencintai musuh, mendoakan mereka yang menganiayanya. Ebusetgak balas dendam aja dah bagus, ini pake’ mencintai dan mendoakannya!
Nota bene: dua konsep ini bisa dianggap enteng juga, yaitu dengan cinta lip service dan doa ritual. Akan tetapi, kalau begitu, jelaslah tak berasal dari relasi autentik dengan Tuhannya. Kalau cinta dan doa itu sungguh berasal dari relasi pribadi dengan Allah, orang beriman memandang semestanya sebagaimana Allah menerbitkan matahari, menurunkan hujan baik kepada orang jahat maupun orang baik.

Tuhan, berilah kami rahmat pengertian akan keadilan-Mu yang menyelamatkan. Amin.


HARI SABTU PRAPASKA I
27 Februari 2021

Ul 26,16-19
Mat 5,43-48

Posting 2020: Berat Hati
Posting 2019: Tuhan Nomor Satu

Posting 2018: Hatimu Terbuat dari Apa?

Posting 2017: Sudah Kuat?

Posting 2016: Bridge over Troubled Water
 
Posting
 2015: Logika Paradoksal

Posting 2014: Masih Mau Korupsi? Plis deh…