Kalau kebenaran jadi ideologis, ia mesti ditegakkan dengan kuasa, bukan cinta. Itu berlaku juga untuk agama. Untuk relasi juga. Banyak tragedi kehidupan terjadi karena kebenaran ideologis macam begini: ama temen ini, demi teman, demi cinta, demi Allah, dan demi-demi lainnya. Problemnya bukan teman, cinta, apalagi Allah, melainkan bahwa konsep ‘teman’, ‘cinta’, ‘Allah’ tadi bisa diisi apa saja sehingga kalau tak ditelaah sungguh-sungguh, isinya malah kontradiktif.
Teks bacaan hari ini memberi contoh bagaimana para ahli agama memegang keyakinan ideologis: tidak ada nabi yang datang dari Galilea. Problemnya bukan benar-salahnya keyakinan itu, melainkan bahwa keyakinan itu diperlakukan secara ideologis. Dengan keyakinan ideologis itu bahkan orang Farisi mengecam kaumnya sendiri yang sesungguhnya menunjukkan kemuliaan hukum mereka: apakah memang hukum Taurat menghukum orang sebelum ada tabayun?
Bukankah ini sesuatu yang mulia, dan bukankah yang dipertanyakan Nikodemus (yang sebelumnya sudah berkenalan dan berdialog panjang lebar dengan Guru dari Nazareth) itu tepat pada poin persoalannya?
Kalau saya jadi Nikodemus, mungkin akan saya sampaikan,”Sik sik sik, apa maksud tidak ada nabi datang dari Galilea?” Ini tidak untuk membela bahwa Guru dari Nazareth itu memang nabi. Sebodo’ amat dia nabi atau bukan; yang penting apakah hidupnya qualified sebagai teladan bagi orang untuk mengenali Tuhannya atau tidak. Akan tetapi, pertanyaan saya tadi sederhana: datang dari Galilea tuh maksudnya gimana?
Orang lain mengatakan saya datang dari Jakarta, yang lain mengatakan dari Klaten, yang lain bilang dari Yogyakarta. Saya sendiri bingung kalau orang bertanya saya (asli) dari mana. Lha ini pakai ius sanguinis atau ius soli ya? Kalau ius soli, saya cuma numpang lahir dan besar sedikit di Klaten. Kalau ius sanguinis, mana saya tahu kelakuan para buyut canggah pendahulu saya sehingga darah yang mengalir ke saya ini dari benua mana saja?
Memang betul Guru dari Nazareth itu besar di Galilea, sehingga bisa dikatakan dia datang dari Galilea. Akan tetapi, kenapa njuk pakai dalil ‘tidak ada nabi yang datang dari Galilea’ untuk membungkam pribadi yang rupanya mulai membuka mata orang untuk mengenali Allah secara pribadi? Begitulah pendekatan kekuasaan: ga mau tau, pokoknya elu gak bisa mengutak-atik posisi gua! Ini beda dengan Nikodemus yang sudah mengalami perjumpaan pribadi dengan Guru dari Nazareth.
Kebenaran memang merongrong orang untuk terus memperluas pengetahuan dan pengenalannya akan Allah; menguji batin dan hatinya.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin memahami misteri cinta-Mu. Amin.
SABTU PRAPASKA IV
20 Maret 2021
Posting 2020: Karantina Cinta
Posting 2019: Iman Tipis-tipis
Posting 2018: Sunyi Sepi Sendiri
Posting 2017: Biar Tuhan Membalasnya
Posting 2016: Kamu Teman Siapa?
Posting 2015: Dilahirin Lagi?
Posting 2014: Conspiracy against “J”
Categories: Daily Reflection